Secara etimologi masjid adalah suatu tempat atau bangunan
yang berfungsi sebagai tempat sujud bagi umat Islam. Secara terminologis masjid dipahami lebih
luas daripada sekedar tempat sujud atau tempat sholat saja. Masjid menjadi
pusat kegiatan dan pembinaan umat. Diantara sekian banyak fungsi masjid
sebagaimana dicontohkan pada masa Rasulullah antara lain sebagai tempat ibadah,
tempat menuntut ilmu, tempat pembinaan jama’ah, pusat dakwa dan kebudayaan, pusat
kaderisasi umat islam, dan lain-lain. Oleh karena itu, masjid dapat diartikan
lebih luas, bukan hanya sekedar tempat bersujud, pensucian, tempat sholat,
namun juga sebagai tempat melaksanakan segala aktivitas kaum muslimin berkaitan
dengan kepathuan kepada sang Allah Subhana wa Ta’ala. (Yulianto, 2006).
Masjid memiliki fungsi dan perannya yang dominan dalam
kehidupan umat Islam, beberapa diantaranya adalah:
1. Sebagai tempat
ibadah
Sesuai dengan namanya Masjid adalah tempat sujud, maka
fungsi utamanya adalah tempat sholat. Makna ibadah di dalam Islam adalah
menyangkut aktivitas kehidupan yang ditunjukan untuk memperoleh ridha Allah,
maka fungsi Masjid disamping sebagai tempat sholat juga sebagai tempat
beribadah secara luas sesuai dengan ajaran Islam.
2. Sebagai tempat
menuntut ilmu
Masjid berfungsi sebagai tempat untuk belajar mengajar,
khususnya ilmu agama yang merupakan fardhu‘ain bagi umat Islam. Disamping itu
juga ilmu-ilmu lain, baik ilmu alam, sosial, humaniora, keterampilan dan lain
sebagainya.
3. Sebagai tempat
pembinaan jamaah
Dengan adanya umat Islam disekitarnya, Masjid berperan dalam
mengkoordinir mereka guna menyatukan potensi dan kepemimpinan umat. Selanjutnya
umat yang terkoordinir secara rapi dapat dibina keimanan, ketaqwaan, ukhuwah
imaniyah dan da’wa islamiyahnya. Sehingga Masjid menjadi basis umat yang kokoh.
4. Sebagai pusat
da’wah dan kebudayaan Islam
Masjid merupakan jantung kehidupan umat Islam yang selalu
bedenyut untuk menyebarluaskan da’wah islamiyah dan budaya Islami. Di masjid
pula direncanakan, diorganisasi, dikaji, dilaksanakan dan dikembangkan da’wah
dan kebudayaan Islam yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Karena itu Masjid
berperan sebagai sentra aktivitas da’wah dan kebudayaan.
5. Sebagai pusat
kaderisasi umat
Sebagai tempat pembinaan jama’ah dan kepemimpinan umat,
Masjid memerlukan aktivis yang berjuang menegakkan Islam secara istiqamah dan
berkesinambungan. Karena itu pembinaan kader perlu dipersiapkan dan dipusatkan
di Masjid sejak mereka masih kecil sampai dewasa. Diantaranya dengan Taman
Pendidikan al-Qur’an (TPQ), Remaja Masjid maupun Ta’mir Masjid beserta
kegiatannya.
Kondisi masjid dewasa ini jauh dari kondisi masjid jaman
Rasulullah. Beberapa fakta yang dapat ditemui dilapangan tentang masjid dewasa
ini antara lain: Masjid berukuran besar dan banyak namun sepi jama’ah. Toilet
masjid kurang terawat, kotor, bau, serta tidak mencerminkan bahwa umat Islam
mencintai keindahan dan kebersihan, terkadang juga karpet atau alas jarang
dicuci. Masjid digunakan hanya untuk sholat, setelah itu masjid sepi dan
dikunci. Tidak ada diskusi, bedah buku, kajian tematis, rapat mengenai strategi
pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, sedekah dan wakaf, yang efektif dan
efisien, apalagi sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan, seperti
pelatihan computer, kewirausahaan, dan lain sebagainya. Jama’ah masjid terbesar
adalah orang-orang tua, sepi dari remaja maupun pemuda. Remaja dan pemuda
enggan aktif di organisasi remaja masjid karena dominasi orang tua yang tidak
memberikan ruang gerak bagi remaja.
Dalam tinjauan arsitektur, Islam tidak menuntut agar masjid
diwujudkan dalam bentuk sedemikan rupa, melainkan membebaskan umatnya untuk
mengekspresikan bentuk masjid dalam kebudayaan masing-masing. Islam hanya
mewajibkan adanya kebersihan dan bebas dari najis dalam masjid, sehingga dapat
dikatakan masjid lebih mencerminkan ruang yang suci dibandingkan ruang yang sakral.
Islam mengajarkan sebuah konsep komunikasi langsung antara
Sang pencipta dengan umatnya. Apabila seorang muslim ingin beribadah di sebuah
ruangan, maka ruang itu adalah masjid baginya, bahkan berada di ruang luar
sekalipun, seorang muslim tetap dapat beribadah disebuah alas yang bersih dan
bebas dari najis.
Islam tidak mengajarkan untuk memperlakukan suatu material
atau objek tertentu sebagai sesuatu yang sakral, karena itu, konsep adanya
perbedaan antara ruang sakral dan ruang sekular tidak diterapkan pada masjid.
Melepas alas kaki sebelum memasuki masjid dan ber-thaharah (bersuci) sebelum melaksanakan
kegiatan ibadah adalah kegiatan membersihkan dan mensucikan diri sehingga sama
sekali tidak merepresentasikan adanya perpindahan dari ruang sekular menuju
ruang sakral.
Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi penyempitan makna
masjid yang tadinya bermakna heterogen kini hanya memiliki makna homogen yaitu hanya sebagai tempat beribadah. Penyempitan tersebut merupakan dampak dari
diterapkannya konsep sacred (sakral) pada masjid.
Akibat adanya sakralisasi tersebut, arsitektur islam mencari
sebuah simbol yang dapat membedakan dirinya dengan yang lain. Salah satu contoh
simbol tersebut adalah atap kubah, dimana atap jenis ini pertama kali digunakan
di banyak daerah di Timur Tengah dan Afrika Utara yang kemudian menyebar ke
berbagai belahan dunia Islam. Kubah sebagai salah satu bentuk atap lazim
digunakan sebagai penutup atap bangunan keagamaan dilihat dari sifatnya yang
menunjukan kekuatan dan kekuasaan yang terpusat.
Saat ini sebagian besar masjid dimaknai sebagai tempat beribadah yang berwujud
sebagai sebuah ruang yang memiliki batasan-batasan fisik dan diyakini sebagai
ruang yang sakral, yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya, kemudian diyakini
jika ada perubahan yang terjadi pada konsep tersebut maka fungsi dari masjid
tersebut akan terdistorsi. Karena alasan itulah bentuk dan desain masjid pada
akhirnya memiliki elemen-elemen standar seperti kubah, minaret, mimbar, dan
mihrab yang biasanya diproduksi kembali dalam sebuah image arsitektur yang
familiar, dan telah tertanam dalam pikiran umat Islam sebagai hasil dari
repetisi secara konstan selama bertahun-tahun. Elemen-elemen tersebut terutama
kubah kini tidak bermakna sebagai salah satu bentuk atap, melainkan untuk
menampilkan image masjid. Atap kubah tersebut kini tidak lagi dipandang sebagai
sebuah kebutuhan untuk menaungi ruang dalam masjid, melainkan hanya sebuah
keinginan atau keharusan untuk menunjukan bahwa bangunan dengan elemen kubah
adalah masjid.
... wallahualam bissawab
(Dirangkum dari berbagai sumber)
1 komentar:
Indahnya filosofi mesjid ya
Post a Comment