السلامے عليكمے ورحمـﮧ اللّـﮧ وبركاتـﮧ

Monday, March 11, 2013

Mamahami Lokalitas, Menemukan Identitas

Secara kebetulan disalah satu stasion TV menayangkan aksi Jacky Jackie Chan dalam film "Who Am I?" Saya pikir film ini menarik juga untuk di tonton walaupun film ini sudah saya tonton berkali-kali. Dalam film ini dikisahkan ketika kepala Jacky terbentur dengan keras sehingga mengalami amnesia alias hilang ingatan tentang siapa dirinya. *persis dengan kisah-kisah sinetron di TV-TV Indonesia sekarang ini :-) . Cerita selanjutnya Jackie diselamatkan dan dirawat hingga sembuh oleh sebuah suku asli di padang rumput Afrika Selatan. Ketika ditanya namanya, Jackie hanya bisa mengucapkan "Who Am I?" karena tidak ingat lagi namanya. Suku asli itu mengira perkataan "Who Am I" itu adalah nama Jackie sehingga sejak itu, Jackie pun dipanggil Whoami. Jackie pun tinggal bersama dengan mereka dan mulai mempelajari kebudayaan dan kebiasaan suku penyelamatnya dan juga bahasanya.

Disini saya tidak sedang membahas film tersebut, tapi dari inspirasi cerita itu membawa saya pada sebuah perenungan dan membayangkan ketika satu saat saya bepergian ke satu kota dan ketika terbangun dan melihat keluar jendela saya tidak tahu berada dimana *mungkin kalo kisah ini difilmkan akan berjudul “Where Am I" :-) *ngawurrrr... tapi menurut saya itu bukanlah satu hal yang tidak mungking karena seperti itulah gambaran arsitektur kita sekarang ini, kita lupa ingatan siapa kita? "Who Am I?" Kita melupakan identitas kita dan bangga dengan arsitektur yang universal atau bahasa kerennya “International style”. Kita disibukan dengan trend padahal, tidak jarang trend yang ada itu tidak punya content apapun. kita tidak lagi memperhatikan guna dan citra. Tidak lagi mempedulikan alam dan lingkungan sekitar, kondisi dan situasi setempat. Kita hanya melihat dengan mata sekilas, tanpa mempelajari hakikat yang terkandung didalamnya. Yang mewah dianggap selalu indah. Dan yang kasat mata indah selalu dikonotasikan dengan produk atau karya arsitektur yang bergaya ”luar” (Luar Negeri) dianggap lebih bergengsi. Pada hal kita lahir sebagai bangsa yang kaya akan keragaman berbudaya. Bila diarsitektur Barat hanya berpatokan (berpedoman) pada arsitektur Yunani dan Romawi sebagai arsitektur sumber, maka di Indonesia sangat kaya dan beragam sejalan dengan keberangaman kebudayaan masyarakatnya, dan tentunya senantiasa mengkondisikan diri dengan alam atau iklim setempat.

Padahal menurut  Y. B. Mangunwijaya yang saya kutip dari buku Wastu Citra terbitan 1992: 
“Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tingginya teknologi letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan”.
Pemandangan ini terhampar di Tanjung Dulang Kab. Bolaang Mongondow Utara. Kekayaan alam seperti ini banyak di negeri kita dan Ini bukanlah sekedar sebagai lukisan alam semata tetapi merupakan bentuk dialogis alam yang berlangsung terus menurus antara batu, air, pasir dan unsur alam lainnya.
Merenungkan kembali tentang pemikiran Romo Mangun, saya berkesimpulan bahwa ternyata Romo Mangun berarsitektur dengan LOGIKA, ETIKA dan ESTETIKA. Dalam hal konstruksi kita harus memperhatikan logika pembebanan dan hukum-hukum alam, dan tidak hanya itu sebagai karya arsitektur menunjuk pada keuntungan/guna atau pemanfaatan yang diperoleh. Tidak hanya sekedar keuntungan materiil semata. Lebih dari itu, karya arsitektur memberikan daya, yang menyebabkan hidup kita menjadi lebih meningkat. Selain itu arsitektur harus ber etika dengan lingkungan dan budaya dimana arsitektur itu berdiri. Berbicara arsitektur memang tidak lepas dari estetika yang dibahasakan oleh Romo Mangun dengan citra. Menurut Mangunwijaya citra tidak jauh beda dengan guna.Tetapi lebih bertingkat spiritual. Lebih menyangkut pada derajat dan martabat manusia. Citra lebih menunjuk pada tingkat kebudayaan, sedang Guna lebih menunjuk pada peradaban. Citra merupakan cahaya pantulan jiwa, dan cita-cita manusia, lambang yang membahasakan segala yang manusiawi,indah, agung, kesederhanaan dan kewajarannya memperteguh hati setiap manusia.

Maraknya diskusi lokalitas sekarang ini bukanlah sebuah 'gerakan' baru dalam dunia arsitektur kemunculannya menjadi terasa seiring gencarnya gerakan modernitas dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai senjata yang tepat untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah menyusup dalam kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah tema gerakan tetapi lebih kepada conceptual device yang kita pilih sebagai alat untuk melakukan analisis dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk menempatkan identitas sebagai prioritas ketimbang intervensi internasional atau pun dogma yang bersifat universal.

Seorang  Vitruvius pun yang katanya sebagai nenek moyangnya para arsitek mengatakan: "unsur alam dan raisonalitas manusia membangun sebuah bentuk arsitektur". Vitruvius percaya bahwa perbedaan dari bangunan-bangunan yang ada di muka bumi ini, adalah akibat dari dialog bolak-balik dari manusia dengan lingkungannya = "There is an in-between 'temperate‘ kind of environment that creates temperate architecture and temperate people”. Lokalitas dalam hal ini adalah juga sebuah 'perbedaan‘ yang secara spatiality memang terbentuk dari dimana Lokalitas itu tumbuh atau ditumbuhkan. Ini membawa pengertian bahwa ada perbedaan antara lokalitas yang satu dengan yang lain.

Lewis Mumford mengatakan berbicara lokalitas bukan berarti kita terpaku pada kebesaran sejarah, karena merupakan sebuah kekeliruan ketika kita mencoba meng-“copy – paste” sebuah bentukan arsitektur dari masa lalu, karena bisa jadi arsitektur yang dihasilkan tidak memiliki jiwa. Tugas kita bukan hanya membuat imitasi arsitektur pada masa lampau tetapi mencoba mengerti dan memahaminya, kemudian suatu saat kita berhadapan dan menyetujuinya dalam kesamaan spirit kreatifitas. Tugas kita bukan hanya meminjam material atau mengopi sebuah contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi harus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.

Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang kita lakukan adalah membuat orang-orang merasa seperti di rumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus dimunculkan karena memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi bahkan politik serta lingkungan dalam jiwa lokalitas itu sendiri.

Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.

Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya, modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya, kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas di mana lokalitas ingin ditempatkan.

Global dan lokalitas bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu ada keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana global menge-print mesin-mesin kapitalis sedang lokal menge-print komunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan. ( Sumber: http://www.junctionzero.com )

Ngomongin soal lokalitas saya teringat penggalan sajak dari W.S. Rendra tentang “Sajak Sebatang Lisong”
….kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata…
Hasil kerja para arsitek memang dihargai dan tidak ditentang, tetapi arahnya yang secara bertahap menggerogoti segala kebudayaan asli yang telah dianugerahkan kepada kita, itulah yang menjadi soal. Dan semoga tulisan ini dapat dipandang sebagai sebuah ajakan dalam kita memandang sebuah karya arsitektur.

0 komentar:

Post a Comment