Bencana banjir dan tanah longsor yang nyaris melumpuhkan
aktivitas kota Manado pada tanggal 15 Januri 2014 menyadarkan saya bahwa, lebih
penting menjadi manusia yang baik dari pada menjadi arsitek yang hebat. Tidak
bermain menjadi “Tuhan”, namun mencoba bersikap pantas sebagai seorang manusia
yang berarsitektur dan membentuk ruang.
Mengguratkan ide pada secarik kertas kosong untuk menemukan
bentuk, atau mencoba bermain dengan geometri yang unik yang membuat orang
berdecak kagum atas keindahan yang coba ditawarkan. Namun berapa banyak yang
kemudian sadar atas kodratnya sebagai manusia, dan kemudian berdamai dengan
egonya untuk membuat sebuah ruang yang bermakna lebih dari apa yang ada secara
kasat mata? Maka estetika saja tidak cukup tanpa dilandasi etika dalam
berarsitektur.
Bagi saya, menjadi seorang arsitek berarti sebuah tanggung
jawab hidup untuk menghadirkan ruang yang humanis bagi manusia lainnya. Bertanggung
jawab kepada sang maha pencipta, atas semua intervensi manusia terhadap alam
yang diciptakan oleh Allah Ta’ala.
Alam bukan sebuah kertas kosong yang dapat dicorat coret sesuai
keinginan kita untuk mewujudkan monumen ego kita sendiri. Rasanya terlalu naïf bila
ego kita tersalurkan lewat bentuk yang tanpa makna, hanya sekedar
memproklamirkan kekuasaan seorang arsitek atas sebidang bentang alam. Ada banyak
kepentingan alam yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja dan sangat
berpengaruh pada siklus kehidupan yang wajar.
0 komentar:
Post a Comment