Secara kebetulan disalah satu stasion TV menayangkan aksi
Jacky Jackie Chan dalam film "Who Am I?" Saya pikir film ini menarik juga untuk di tonton
walaupun film ini sudah saya tonton berkali-kali. Dalam film ini dikisahkan ketika
kepala Jacky terbentur dengan keras sehingga mengalami amnesia alias hilang
ingatan tentang siapa dirinya. *persis dengan kisah-kisah sinetron di TV-TV Indonesia sekarang ini :-) . Cerita selanjutnya Jackie diselamatkan
dan dirawat hingga sembuh oleh sebuah suku asli di padang rumput Afrika
Selatan. Ketika ditanya namanya, Jackie hanya bisa mengucapkan "Who Am
I?" karena tidak ingat lagi namanya. Suku asli itu mengira perkataan
"Who Am I" itu adalah nama Jackie sehingga sejak itu, Jackie pun
dipanggil Whoami. Jackie pun tinggal bersama dengan mereka dan mulai
mempelajari kebudayaan dan kebiasaan suku penyelamatnya dan juga bahasanya.
Disini saya tidak sedang membahas film tersebut, tapi dari inspirasi cerita itu membawa saya pada sebuah perenungan dan
membayangkan ketika satu saat saya bepergian ke satu kota dan ketika terbangun
dan melihat keluar jendela saya tidak tahu berada dimana *mungkin kalo kisah
ini difilmkan akan berjudul “Where Am I" :-) *ngawurrrr... tapi menurut saya itu bukanlah satu hal yang tidak mungking karena seperti itulah gambaran arsitektur kita sekarang ini, kita
lupa ingatan siapa kita? "Who Am I?" Kita melupakan identitas kita dan bangga dengan
arsitektur yang universal atau bahasa kerennya “International style”. Kita disibukan
dengan trend padahal, tidak jarang trend yang ada itu tidak punya content
apapun. kita tidak lagi memperhatikan guna dan citra. Tidak lagi mempedulikan
alam dan lingkungan sekitar, kondisi dan situasi setempat. Kita hanya melihat
dengan mata sekilas, tanpa mempelajari hakikat yang terkandung didalamnya. Yang
mewah dianggap selalu indah. Dan yang kasat mata indah selalu dikonotasikan
dengan produk atau karya arsitektur yang bergaya ”luar” (Luar Negeri) dianggap
lebih bergengsi. Pada hal kita lahir sebagai bangsa yang kaya akan keragaman
berbudaya. Bila diarsitektur Barat hanya berpatokan (berpedoman) pada
arsitektur Yunani dan Romawi sebagai arsitektur sumber, maka di Indonesia
sangat kaya dan beragam sejalan dengan keberangaman kebudayaan masyarakatnya, dan
tentunya senantiasa mengkondisikan diri dengan alam atau iklim setempat.
Padahal menurut Y. B.
Mangunwijaya yang saya kutip dari buku Wastu Citra terbitan 1992:
“Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tingginya teknologi letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan”.
Merenungkan kembali tentang pemikiran Romo Mangun, saya
berkesimpulan bahwa ternyata Romo Mangun berarsitektur dengan LOGIKA, ETIKA dan
ESTETIKA. Dalam hal konstruksi kita harus memperhatikan logika pembebanan dan
hukum-hukum alam, dan tidak hanya itu sebagai karya arsitektur menunjuk pada
keuntungan/guna atau pemanfaatan yang diperoleh. Tidak hanya sekedar keuntungan
materiil semata. Lebih dari itu, karya arsitektur memberikan daya, yang
menyebabkan hidup kita menjadi lebih meningkat. Selain itu arsitektur harus ber
etika dengan lingkungan dan budaya dimana arsitektur itu berdiri. Berbicara arsitektur
memang tidak lepas dari estetika yang dibahasakan oleh Romo Mangun dengan
citra. Menurut Mangunwijaya citra tidak jauh beda dengan guna.Tetapi lebih
bertingkat spiritual. Lebih menyangkut pada derajat dan martabat manusia. Citra
lebih menunjuk pada tingkat kebudayaan, sedang Guna lebih menunjuk pada
peradaban. Citra merupakan cahaya pantulan jiwa, dan cita-cita manusia, lambang
yang membahasakan segala yang manusiawi,indah, agung, kesederhanaan dan
kewajarannya memperteguh hati setiap manusia.
Maraknya diskusi lokalitas sekarang ini bukanlah sebuah
'gerakan' baru dalam dunia arsitektur kemunculannya menjadi terasa seiring
gencarnya gerakan modernitas dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai
senjata yang tepat untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah
menyusup dalam kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis
mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah tema gerakan tetapi
lebih kepada conceptual device yang kita pilih sebagai alat untuk melakukan
analisis dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk menempatkan identitas
sebagai prioritas ketimbang intervensi internasional atau pun dogma yang
bersifat universal.
Seorang Vitruvius pun
yang katanya sebagai nenek moyangnya para arsitek mengatakan: "unsur alam
dan raisonalitas manusia membangun sebuah bentuk arsitektur". Vitruvius
percaya bahwa perbedaan dari bangunan-bangunan yang ada di muka bumi ini,
adalah akibat dari dialog bolak-balik dari manusia dengan lingkungannya =
"There is an in-between 'temperate‘ kind of environment that creates
temperate architecture and temperate people”. Lokalitas dalam hal ini adalah
juga sebuah 'perbedaan‘ yang secara spatiality memang terbentuk dari dimana
Lokalitas itu tumbuh atau ditumbuhkan. Ini membawa pengertian bahwa ada perbedaan
antara lokalitas yang satu dengan yang lain.
Lewis Mumford mengatakan berbicara lokalitas bukan berarti
kita terpaku pada kebesaran sejarah, karena merupakan sebuah kekeliruan ketika
kita mencoba meng-“copy – paste” sebuah bentukan arsitektur dari masa lalu, karena
bisa jadi arsitektur yang dihasilkan tidak memiliki jiwa. Tugas kita bukan
hanya membuat imitasi arsitektur pada masa lampau tetapi mencoba mengerti dan
memahaminya, kemudian suatu saat kita berhadapan dan menyetujuinya dalam
kesamaan spirit kreatifitas. Tugas kita bukan hanya meminjam material atau
mengopi sebuah contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu,
tetapi harus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan untuk
mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.
Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya
sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah keindahan yang tidak
terduga. Yang terpenting dari semua yang kita lakukan adalah membuat
orang-orang merasa seperti di rumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus
dimunculkan karena memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan
manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi bahkan politik serta lingkungan dalam
jiwa lokalitas itu sendiri.
Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi
yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun sebuah tradisi
baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini, sebuah tradisi harus selalu
ditempatkan dalam konteks tentang hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal
kenangan apabila tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin
teknologi yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi pintar adalah
membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam teknologi yang tepat guna.
Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya,
modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar memenuhi
kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji dalam nilai keteraturannya,
kooperatif, kekuatannya, kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari
komunitas di mana lokalitas ingin ditempatkan.
Global dan lokalitas bukanlah sesuatu yang harus
dipertentangkan tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu ada
keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana global menge-print
mesin-mesin kapitalis sedang lokal menge-print komunitas. Lokalitas perlu
menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan. ( Sumber: http://www.junctionzero.com )
Ngomongin soal lokalitas saya teringat penggalan sajak dari
W.S. Rendra tentang “Sajak Sebatang Lisong”
….kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata…
Hasil kerja para arsitek memang dihargai dan tidak
ditentang, tetapi arahnya yang secara bertahap menggerogoti segala kebudayaan
asli yang telah dianugerahkan kepada kita, itulah yang menjadi soal. Dan semoga tulisan ini dapat dipandang sebagai sebuah ajakan dalam kita memandang sebuah karya arsitektur.
0 komentar:
Post a Comment